Selasa, 28 Januari 2014

Penangkaran Merak Satu-satunya di Indonesia


Republika/Wihdan Hidayat
Merak Hijau atau kerap disebut Merak Jawa, nama ilmiahnya Pavo muticus di penangkaran Merak milik Surat di Dusun Suko, Caruban, Madiun.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika
Jangan kaget. Di Indonesia, hanya ada satu penangkaran merak yang terbukti sukses. Itu pun bukan instansi pemerintah yang melakukannya. Penangkaran merak ini dilakukan oleh Surat Wiyoto, seorang petani tradisional yang tinggal di Dusun Suko, Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun.
Dari berbagai literatur, belum ada cerita kisah sukses seorang penangkar merak. Adapun, merak yang biasanya ditangkarkan di kebun raya atau taman wisata hanya dijadikan wahana hiburan pengunjung. Mengacu beberapa fakta itu, tidak mengherankan upaya Surat menangkar merak hijau (pavo muticus) layak diapresiasi.
Tempat tinggal Surat di sebuah dataran tinggi di kawasan hutan jati yang jauh dari kebisingan. Belum lama ini Republika berkunjung ke sana. Dari Kota Madiun, dibutuhkan waktu 1,5 jam untuk mencapai wilayah perbukitan itu dengan menggunakan sepeda motor. Rumah Surat sangat sederhana karena sebagian masih berdinding kayu dengan beralaskan tanah.
Menangkar merak sebenarnya merupakan sebuah kebetulan yang tidak direncanakan sama sekali oleh pria berusia 55 tahun ini. Awalnya, seperti kesehariannya, ia mencari rumput di alas (hutan) yang masuk wilayah Sampung. Jarak hutan dari rumahnya sejauh lima kilometer. Di kawasan itu, akunya, memang beberapa warga pernah berjumpa dengan merak liar yang menjadi penghuni hutan.
Sebagaimana karakter binatang unggas ini, biasanya selalu menjauh atau kabur kalau bertemu dengan manusia. Sehingga, keberadaannya sulit dideteksi. Namun tanpa di sangka, dalam perjalanannya mencari rumput pada 1999, ia menemukan empat telur merak yang tergeletak di dalam hutan.
Karena merasa tidak ada yang memilikinya, Surat membawanya pulang. Karena tahu yang dibawanya itu telur merak yang memiliki ukuran sebesar telur angsa, ia tidak memasaknya. Dia memiliki firasat baik terhadap keberadaan telur tersebut.
Karena memiliki kandang ayam, Surat memilih untuk menaruh empat telur itu untuk dierami ayam. Berselang 15 hari, telur itu menetas dan empat merak kecil lahir dengan jenis kelamin masing-masing dua jantan dan betina (F-0). Setelah berusia dua bulan, ia memisahkan merak itu dari induk ayam.
Penangkaran merak dengan menggunakan induk ayam berulang dilakukannya. Hal itu lantaran setiap merak yang sudah dewasa enggan untuk mengerami telur. Ia pernah memaksakan merak yang bertelur untuk mengerami telur itu, namun hasilnya nihil. Alhasil, ketika merak sudah bertelur, ia segera meletakkannya di kandang ayam. Yang mengherankan, ayam itu selalu sukses mengerami telur itu hingga menetas.
Merawat merak, diakui Surat gampang-gampang susah. Ia memilih cara tradisional dalam menangkar merak dengan menyamakannya seperti memelihara ayam. Karena menganggapnya mirip dengan ayam, ia memberi makan merak berupa jagung, sayuran, poor atau pelet. Untuk memberi makan itu, ia mengeluarkan uang sebesar Rp 450 ribu per bulan hanya untuk membeli pelet saja.
Karena tidak pernah mendapat bantuan dari instansi terkait atau pemerintah daerah, ia tidak bisa setiap hari memberi makanan layak kepada binatang unggasnya. Kalau sedang punya uang, ia pasti memberi makan merak dengan beras merah, yang memiliki khasiat bagus bagi stamina binatang unggas.
Cobaan sempat datang menghampirinya pada awal 2011. Ketika itu, petugas dari Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) melakukan operasi untuk membawa seluruh merak di kandangnya. Hal itu lantaran merak hijau termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi.
Namun ia tidak kalah akal. Dengan meminta bantuan dokter hewan yang biasanya datang ke kampungnya, ia meminta diuruskan ijin agar bisa terus memelihara merak. Singkat cerita, petugas tidak jadi menyita meraknya, dan hanya melakukan kontrol setiap sebulan sekali ke rumahnya.
Ketika wabah H5N1 (flu burung) menyerang unggasnya pada pertengahan 2011, ia sangat terpukul. Sedikitnya enam ekor merak generasi kedua (F-1) tiba-tiba menggelepar bersamaan, dan mati akibat penyakit ganas itu. Karena takut menular ke merak lainnya, ia menguburkan binatang yang dilindungi negara itu. “Saya sampai menangis saat mengetahui merak peliharaan saya mati,” kenangnya.
Beruntung, pada tahun lalu lahir sembilan ekor merak generasi ketiga (F-2) yang sekarang berusia antara enam hingga sembilan bulan. Kalau biasanya setahun hanya bertelur sekali, tahun lalu merak bertelur dua kali, dan itu membuatnya terkejut. “Ini baru pertama terjadi selama saya memelihara merak.” Ditambah dua ekor merak generasi kedua berusia 1 tahun lebih, Surat kini memiliki 14 ekor merak.
Dari 14 ekor, ia menempatkannya ke dalam enam sangkar di dua tempat terpisah. Ia memiliki kandang sederhana seluas 5×4 meter yang disekat menjadi tiga bagian. Bagian tengah dan memakan tempat terbesar diisi tiga merak, satu jantan dua betina dari generasi kedua. Satu tempat lagi dihuni sepasang merak berjenis jantan dan betina, yang disiapkan untuk disatukan ketika musim kawin pada September hingga November.
Add to Cart

2 komentar:

Sangat mengasikan .....
ternak burung merak ... saya sangat suka .. melihat keindahan burung merak

apakah peternakan iotu hingga kini masih ada?

Posting Komentar